kata “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk- pemeluknya” pada sila pertama piagam jakarta diganti menjadi ..... dalam pembukaan uud 1945
Muhammad
Guys, ada yang tau jawabannya?
dapatkan kata “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk- pemeluknya” pada sila pertama piagam jakarta diganti menjadi ..... dalam pembukaan uud 1945 dari situs web ini.
Bung Hatta dalam Merevisi Sila “Ketuhanan...
Pada masa Orde Baru, Pancasila ditanamkan dengan dogmatis dan juga difungsikan untuk membungkam pihak-pihak yang mengkritik pemerintah saat itu, meskipun para pengkritik tersebut tidak ada...
BERITA
BERITA Bung Hatta dalam Merevisi Sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
Dipostkan Oleh Rektorat Telah dibaca 441712 kali
Pada masa Orde Baru, Pancasila ditanamkan dengan dogmatis dan juga difungsikan untuk membungkam pihak-pihak yang mengkritik pemerintah saat itu, meskipun para pengkritik tersebut tidak ada hubungannya dengan paham anti-Pancasila. Semenjak jatuhnya Orde Baru, penggunaan Pancasila sebagai tameng rejim sudah tidak terjadi lagi. Masyarakat Indonesia menikmati kebebasan dalam berpendapat termasuk kebebasan untuk mengkritik pemerintah yang pada masa Orde Baru mengkritik biasanya akan berakhir dengan kurungan penjara atau kekerasan.
Seriring dengan era kebebasan, pengajaran dogma Pancasila melalui Penataran P4 juga dihentikan yang secara relatif menimbulkan “kekosongan ideologi” pada generasi muda oleh karena pengajaran Pancasila yang sebelumnya dogmatis tersebut tidak digantikan oleh metode lain yang lebih komunikatif dan substantif. Pada saat yang bersamaan Indonesia menghadapi derasnya arus informasi dari seluruh dunia melalui internet. Berbagai jenis paham (termasuk paham radikal keagamaan) berseliweran dan berinteraksi dengan kalangan muda yang mengalami kekosongan ideologi. Meminjam istilah Melluci, mereka adalah pengembara-pengembara identitas yang mencari jati dirinya dalam pilihan-pilihan identitas yang dibawa oleh internet terutama melalui media sosial. Pembentukan identitas kelomopok radikal itu akan semakin kuat jika mereka bertemu dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang serupa. Kelompok-kelompok radikal keagamaan tersebut menganut apa yang disebut oleh Melluci sebagai monisme totaliter yang memandang bahwa paham mereka adalah satu-satu paham yang akan membawa kebaikan. Orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dianggap sebagai manusia yang derajatlah lebih rendah.
Kelompok-kelompok radikal ini ikut menunggangi kontestasi Pilkada DKI Jakarta di tahun 2017 yang diwarnai oleh penggunaan isu SARA secara masif pada level akar rumput untuk menjatuhkan kandidat tertentu. Ujaran-ujaran kebencian diutarakan untuk merendahkan kandidat yang memiliki latar belakang agama dan etnis tertentu. Fenomena tersebut mengajak kita untuk mengingat kembali kesepakatan-kesepakatan dasar dari para pendiri bangsa ketika mereka sepakat untuk mendirikan NKRI.
Memandang rendah derajat orang lain yang memiliki suku, agama, dan ras yang berbeda tentu saja pengingkaran yang serius terhadap dasar dari yang paling dasar kesepakatan pendirian republik yaitu kesetaraan dan kebersamaan. Menurut Bung Karno, lima sila dari Pancasila jika diperas menjadi satu maka ia menjadi Eka Sila yaitu Gotong-Royong. Menurut Bung Karno, “Gotong Royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama. Itulah gotong-royong!”
Kekosongan ideologis akibat lemahnya pembumian Pancasila oleh apparatus sosial juga memunculkan kelompok-kelompok yang memunculkan kembali gagasan dasar negara dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang sila pertamanya berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rumusan sila pertama itu kemudian diubah melalui sidang BPUPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi rumusan Pancasila yang seperti yang tercantum dalam UUD 1945 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun demikian, masih terdapat kelompok-kelompok yang dengan lantang dan terbuka ingin kembali pada gagasan Piagam Jakarta.
Kelompok-kelompok ini mengambil sebagian potongan dalam sejarah dan kemudian memaknai sendiri dengan bias kepentingan dan monisme totaliternya sehingga makna sejarah yang sesungguhnya tidak mereka indahkan, bahkan mungkin tak terlihat oleh mereka. Memang benar bahwa Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 telah ditandatangan oleh BPUPKI yang dipimpin oleh Soekarno. Pada saat itu sila “Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tidak dianggap sebagai diskriminasi oleh karena hanya mengikat bagi pemeluk agama Islam. Bahkan anggota BPUPKI yang beragama Kristen yaitu A.A. Maramis tidak berkeberatan dengan sila tersebut. Namun yang dipikirkan oleh anggota BPUPKI tersebut tidak sama dengan yang pikirkan oleh kalangan masyarakat yang bergama lain. Adalah seorang perwira utusan Angkatan Laut Jepang yang bertemu Bung Hatta pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945. Perwira itu menyampaikan bahwa wakil-wakil umat Protestan dan Katolik yang berada dalam wilayah kekuasaan Angkatan Laut Jepang sangat berkeberatan dengan bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mereka sadar bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, namun dengan mencantumkan ketetapan seperti itu dalam pembukaan dan dasar berdirinya suatu negara merupakan “diskriminasi” terhadap mereka golongan minoritas. Dalam buku autobiografi Bung Hatta disebutkan bahwa jika “diskriminasi” itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.
Bung Hatta adalah negarawan yang memiliki keterampilan memahami yang sangat baik. Horizonnya terhadap sila dalam Piagam Jakarta tersebut berdialog dengan horizon yang dimiliki oleh wakil-wakil dari umat Protestan dan Katolik dan kemudian menghasilkan yang disebut oleh ahli hermeneutik Gadamer, sebagai fusi horizon. Horizon dari Bung Hatta bersifat terbuka sehingga ia membuka diri terhadap berbagai kemungkinan makna yang muncul dan berbagai kemungkinan akibat yang muncul di kemudian hari. Keterbukaan horizonnya itu membuatnya melihat makna yang sebelumnya tidak terlihat. Dalam autobiografinya, Hatta menyatakan bahwa kalau Indonesia tidak bisa bersatu, maka bisa dipastikan daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera (tempat domisili penduduk non-Muslim) akan kembali dikuasai oleh Belanda.
Mengapa Butir Pertama Piagam Jakarta Diganti Ketuhanan Yang Maha Esa? Halaman all
Alasan butir pertama dalam Piagam Jakarta diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa adalah demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Halaman all
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com Stori
Mengapa Butir Pertama Piagam Jakarta Diganti Ketuhanan Yang Maha Esa?
Kompas.com - 23/08/2022, 13:00 WIB
Lihat Foto
Naskah Piagam Jakarta.(ANRI)
Penulis Widya Lestari Ningsih | Editor Widya Lestari Ningsih
KOMPAS.com - Piagam Jakarta adalah rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan.Piagam Jakarta disahkan pada tanggal 22 Juni 1945. Di dalam Piagam Jakarta, tepatnya pada alinea keempat, termuat dasar negara Indonesia.
Butir pertama dasar negara awalnya berbunyi, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Namun, pada sidang pertama PPKI yang dilaksanakan pada 18 Agustus 1945, butir tersebut diganti menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa."
Lantas, mengapa butir pertama dalam Piagam Jakarta diganti menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa"?
Baca juga: Piagam Jakarta: Sejarah, Isi, Tokoh Perumus, dan KontroversiPerumusan Piagam Jakarta
Sidang BPUPKI pertama yang berlangsung antara 29 Mei sampai 1 Juni 1945 memiliki agenda membahas tentang dasar negara Indonesia.
Namun, dari 39 tokoh BPUPKI yang berpidato guna mencoba merumuskan dasar negara merdeka, hanya Soekarno yang secara khusus menyampaikan pandangan terkait dengan rumusan dasar negara.
Hingga hari terakhir sidang BPUPKI pertama, belum dicapai kesepakatan tentang rumusan dasar negara karena masih terjadi perdebatan antara wakil umat Islam dan pemimpin nasionalis (sekuler).
Oleh karena itu, dibentuk Panitia Kecil yang beranggotakan delapan orang, yakni Soekarno, Moh Hatta, Moh Yamin, AA Maramis, Otto Iskandardinata, Soertadjo Kartohadikoesoemo, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan Wachid Hasjim.
Baca juga: Tokoh-tokoh Panitia SembilanSebagai ketua Panitia Kecil, Soekarno menganggap keanggotaan dari golongan Islam yang hanya diwakili oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Wachid Hasjim tidak proporsional.
Oleh karena itu, Soekarno mengubah dan menambah jumlah anggota panitia menjadi sembilan orang sehingga disebut Panitia Sembilan.
Anggota Panitia Sembilan di antaranya:
Soekarno Moh Hatta Moh Yamin AA Maramis A Soebardjo KH Wachid Hasjim KH Kahar Moezakkir Agus Salim
Abikoesno Tjokrosoejoso
Baca juga: Siapa yang Merumuskan Piagam Jakarta?Lima orang pertama dari daftar anggota Panitia Sembilan tersebut merupakan perwakilan golongan kebangsaan, empat orang berikutnya mewakili golongan Islam.
Sedangkan AA Maramis menjadi satu-satunya anggota Panitia Sembilan dari kalangan non-Muslim.
Tugas Panitia Sembilan adalah menyusun naskah rancangan yang akan digunakan dalam pembukaan hukum dasar negara.
Panitia Sembilan bekerja selama masa reses (di luar masa sidang BPUPKI).
Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan telah membentuk rancangan Mukadimah Undang-Undang Dasar, yang kemudian disebut sebagai Piagam Jakarta.
Isi Piagam Jakarta
Pada Sidang Kedua BPUPKI yang dimulai pada 10 Juli 1945, Soekarno melaporkan rumusan Mukadimah Undang-Undang Dasar atau preambule yang telah dibentuk oleh Panitia Sembilan selama masa reses.
Di hari itu pula, Moh Yamin mengusulkan rumusan mukadimah itu dinamai Piagam Jakarta.
Baca juga: Pandangan Mohammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno terhadap Negara MerdekaBerikut ini isi Piagam Jakarta yang dibacakan Soekarno pada hari pertama sidang BPUPKI kedua.
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Baca juga: 3 Fase Terbentuknya Persatuan Indonesia Menurut Mohammad YaminPerdebatan terkait isi Piagam Jakarta
Piagam Jakarta hakikatnya adalah teks deklarasi kemerdekaan Indonesia yang di dalamnya berisi manifesto politik, alasan eksistensi Indonesia, sekaligus memuat dasar negara Republik Indonesia.
Kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk
Kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya dalam piagam Jakarta dan kemudian di ubah menjadi ketuhanan yang maha esa dalam - 181…
!function(a,b,c,d,e){a.ddCaptchaOptions=e||null;var m=b.createElement(c),n=b.getElementsByTagName(c)[0];m.async=0,m.src=d,n.parentNode.insertBefore(m,n)}(window,document,"script","https://js.captcha-display.com/xhr_tag.js", {ajaxListenerPath: ["brainly.co.id/api", "brainly.co.id/graphql", "api-textbook-solutions.brainly.com", "question-matching-textbook-solutions.brainly.com"], withCredentials: true, sessionByHeader: true, overrideAbortFetch: true, allowHtmlContentTypeOnCaptcha: true });
Kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya dalam piagam Jakarta dan - Brainly.co.id
Guys, ada yang tau jawabannya?