keberhasilan dakwah islam di indonesia salah satunya melalui tahap pengembangan intelektualitas. pada abad 17 m terjadi peningkatan dan penyempurnaan ajaran islam. tradisi intelektual sangat mengagumkan dengan lahirnya karya-karya monumental. tentukan karya-karya monumental yang para ulama tersebut ... .
Muhammad
Guys, ada yang tau jawabannya?
dapatkan keberhasilan dakwah islam di indonesia salah satunya melalui tahap pengembangan intelektualitas. pada abad 17 m terjadi peningkatan dan penyempurnaan ajaran islam. tradisi intelektual sangat mengagumkan dengan lahirnya karya-karya monumental. tentukan karya-karya monumental yang para ulama tersebut ... . dari situs web ini.
Intelektual Islam Indonesia Dalam Sejarah
Intelektual Muslim berperan penting dalam penyebaran syiar Islam sejak ratusan tahun silam.
Kitab
Intelektual Islam Indonesia Dalam Sejarah
19 Oct 2021, 09:28 WIB
Intelektual Muslim berperan penting dalam penyebaran syiar Islam sejak ratusan tahun silam.
OLEH MUHYIDDIN
Kaum cendekiawan dan intelektual Muslim berperan penting dalam penyebaran syiar Islam sejak ratusan tahun silam. Karena itu, geliat dakwah di Tanah Air tidak terlepas dari perkembangan gagasan dan pemikiran mereka sepanjang sejarah. Dinamika itu terus berlangsung, baik pada waktu sebelum, selama, dan sesudah kolonialisme bangsa-bangsa Eropa melanda Nusantara.
Kurun waktu antara abad ke-19 dan 20 bisa dipandang sebagai klimaks penjajahan Barat di Indonesia. Pada masa itu, kalangan alim ulama menjadi motor perjuangan bangsa Pribumi dalam melawan penindasan. Beberapa kali, rezim kolonial memadamkan pemberontakan. Bagaimanapun, ide dan spirit jihad tidak bisa dipadamkan.
Bagaimana kiprah golongan cerdik cendekia Muslim dalam rentang sejarah masa itu? Untuk menjawabnya, karya Dr Miftahuddin Mhum ini bisa menjadi sebuah opsi. Kitab referensi itu berjudul Sejarah Perkembangan Intelektual Islam di Indonesia: Dari Abad XIX Sampai Masa Kontemporer. Buku tersebut memotret perkembangan intelektual Muslim di Tanah Air, serta dalam konteks jaringan ulama global.
Miftahuddin merupakan seorang penulis dengan latar belakang dunia santri. Ia pernah menimba ilmu-ilmu agama di Pondok Pesantren Wahid Hasyim Gaten, Condongcatur, Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun pendidikan tinggi pertama-tama ditempuhnya di Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Gelar doktor pun diraihnya di kampus yang sama, yakni dalam bidang studi Sejarah Kebudayaan Islam. Sejak 2003, dirinya tercatat sebagai salah satu dosen program studi Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Dalam karyanya ini, Miftahuddin menguraikan kronik sejarah pemikiran Islam sejak permulaan abad modern di Indonesia. Bagaimanapun, penjelasannya tidak langsung bermula pada kurun abad ke-19. Terlebih dahulu, dirinya menjelaskan awal pembumian Islam di Nusantara serta embrio perkembangan intelektual Muslimin setempat.
Menurut penulis, periode sejak akhir abad ke-16 hingga 19 telah memunculkan tonggak-tonggak intelektualitas Muslim yang cemerlang. Hal itu ditandai dengan munculnya banyak ulama yang juga penulis kitab-kitab. Dengan begitu, reputasi mereka tidak hanya dikenal melalui dakwah lisan yang dilakukannya, tetapi juga karya-karyanya yang melintasi ruang dan waktu.
Pada abad ke-17, kaum Muslimin di Asia Tenggara dilanda dua gelombang intelektualitas.
Pada abad ke-17, lanjutnya, kaum Muslimin di Asia Tenggara dilanda dua gelombang intelektualitas. Pertama, apa yang disebut Miftahuddin sebagai gelombang Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Samsuddin. Corak yang dominan dari keduanya ialah pemikiran Wahdat al-Wujud.
Kedua, gelombang yang lebih berwarna-warni. Para ulama dalam kelompok ini tidak hanya dikenal luas sebagai ahli tasawuf, tetapi juga fikih dan syariat. Sebut saja tokoh-tokoh semisal Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf al-Singkili, dan Syekh Muhammad Yusuf al-Makassari. Tren intelektualitas yang mereka usung terus bertahan di Indonesia hingga memasuki abad ke-19.
Pembahasan buku ini terbagi ke dalam tiga bab. Pertama menjelaskan awal mula syiar Islam di Tanah Air dalam konteks aktivitas kaum intelektual, sebagaimana dibahas di atas. Bab kedua mengulas tentang dinamika intelektual Islam pada abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20.
Seperti dijelaskan penulis di awal buku ini, pembaharuan Islam pertama di Nusantara ditandai dengan munculnya pemikiran Nuruddin al-Raniri dan Abdurrauf al-Singkili pada abad ke-17. Menurut Mifahuddin, inti dari pembaharuan ini adalalah mengkritisi pemikiran tasawuf falsafi dan menawarkan bentuk tasawuf sunni.
Kemudian, wacana pembaharuan Islam di Indonesia baru muncul lagi pada masa-masa pertama abad ke-19 dengan mengusung gagasan âreformasi Islamâ. Menurut penulis, saat itu para pelajar Indonesia yang telah belajar di Makkah al-Mukarramah banyak yang membawa ide-ide Wahabiyah ke Tanah Air.
Untuk selanjutnya, gagasan-gagasan pembaruan Islam mulai diperkenalkan di Indonesia. Itu terutama berlangsung pada tahun-tahun terakhir abad ke-19. Dengan demikian, semakin banyak kaum Muslimin Indonesia yang menaruh perhatian besar pada dinamika di âpusatâ dunia Islam, yakni Tanah Suci dan juga Mesir.
Semakin banyak kaum Muslimin Indonesia yang menaruh perhatian besar pada dinamika di âpusatâ dunia Islam, yakni Tanah Suci dan juga Mesir.
Negeri Piramida pada awal abad ke-20 menghadirkan dialektika yang sangat dinamis. Mesir saat itu mengalami persentuhan intelektualitas dengan dunia Barat. Gagasan modernisme dan kemajuan (progres) menjadi pembahasan banyak cendekiawan Muslim setempat.
Maka, lahirlah ulama-ulama yang mengusung ide pembaharuan Islam. Sebut saja, Syekh Jamaluddin al-Afghani (wafat 1897), Muhammad Abduh (wafat 1905), dan Muhammad Rasyid Ridha (wafat 1935). Melalui para pelajar Indonesia di Tanah Suci serta majalah-majalah terbitan Mesir, gagasan mereka akhirnya diterima di beberapa daerah Tanah Air. Bahkan, sejumlah ulama besar kemudian mendirikan organisasi-organisasi dengan semangat tajdid Islam.
Sementara kaum pembaharu bergiat, kalangan pesantren terus berdinamika. Mereka tetap mempertahankan tradisi ahlus sunnah waljamaâah (aswaja). Mayoritasnya berkiblat pada pemikiran seorang imam mazhab, yakni Imam Syafii. Dalam bidang kalam, rujukannya ialah antara lain Abu Musa al-Asyâari. Adapun dalam hal tasawuf, acuannya ialah antara lain Syekh Juneid.
Indonesian Islamic Philology: Tradisi dan Wacana Intelektual Islam Indonesia
a blog about Indonesian Islamic manuscripts and Philology
INDONESIAN ISLAMIC PHILOLOGY
THIS BLOG IS SPECIFICALLY DEDICATED TO PROMOTE STUDYING OLD INDONESIAN MANUSCRIPTS, BOTH IN ARABIC AND LOCAL LANGUAGES, ESPECIALLY THOSE RELATED TO RELIGIOUS ISSUES. IT'S ALSO TO INTRODUCE INDONESIAN LOCAL ISLAM.
TABLE OF CONTENTS
Click here to find all titles inside
Follow me on Academia.edu
LOOKING FOR FUNDING TO SAVE MSS? CLICK HERE
LOOKING FOR FUNDING TO SAVE MSS? CLICK HERE EXCHANGE LINK?
Copy the code below, insert in to your blog
ENG-IND-ENG DICT
Click to join manassa
POPULAR POSTS
'Pengajian Tubuh' di Minangkabau: Pribumisasi Ajaran Tarekat dalam Bingkai Lokal
Bab 7: Tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat: Teks dan Konteks
Kontroversi Kaum Paderi: Jika Bukan Karena Tuanku Nan Renceh
Urban Sufism: Perubahan dan Kesinambungan Ajaran Tasawuf
Manuskrip dan Penguatan Kajian Islam Asia Tenggara
Ahok, Betawi, Tionghoa, Islam, dan Rasa ke-Indonesia-an Kita
Filologi dan Islam Indonesia
Khazanah Naskah: Introduction
Ithaf al-Dhaki by al-Kurani: A Critical Edition
A Brief Mapping of Islamic Education in Indonesia
RECENT COMMENTS
Anonymous commented on kontroversi kaum paderi jika bukan:
Riyan Hermawan commented on presenting ithaf al dhaki in:
aida tour commented on tentang katalog naskah ali hasjmy aceh:
Enas Nasrudin commented on riset dan menulis 1_16:
Anonymous commented on riset dan menulis 1_16:
Get this Recent Comments Widget
Please feel free to quote part of information provided here, with an acknowledgment to the source.
19.1.07
Tradisi dan Wacana Intelektual Islam Indonesia
By Oman Fathurahman Jajat Burhanudin
This article will be published as part of book entitled: "Sejarah Indonesia" by Taufik Abdullah as Editor-in-Chief.
Dalam konteks sejarah Indonesia khususnya, dan Asia Tenggara pada umumnya, pembentukan tradisi dan wacana intelektual Islam sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari proses Islamisasi itu sendiri yang mulai terjadi pada sekitar abad VII M. Hanya saja, berkaitan dengan proses Islamisasi ini, penting dibedakan antara masa awal kedatangan Islam, masa penyebaran, serta masa pembentukan dan konsolidasi struktur kelembagaan sosial dan politiknya, seiring dengan dimulainya pembentukan struktur pemerintahan atau kerajaan.
Dalam masa awal kedatangannya, hingga kira-kira abad XII M, Islam di Nusantara tentu saja belum menghasilkan satu tradisi dan wacana intelektual tersendiri yang mapan dan bisa dianggap sebagai sesuatu yang khas, melainkan hanya menghasilkan beberapa komunitas Muslim yang terutama terdiri dari para pembawa Islam itu sendiri, seperti para pedagang dan mubalig.
Baru pada tahap berikutnya, yakni mulai sekitar abad XIII M, ketika penyebaran Islam di Nusantara semakin mantap dan terkonsolidasi, berbagai nilai dan ajaran Islam pun mulai mengalami semacam âpenerjemahanâ ke dalam sistem sosial budaya masyarakat setempat. Penerjemahan dalam hal ini dapat dianggap sebagai proses penyerapan prinsip-prinsip Islam melalui modus konseptualisasi nilai-nilai dan ajaran Islam yang berbasiskan sistem sosial budaya masyarakat Indonesia. Hal inilah yang pada gilirannya kemudian membentuk sebuah tradisi dan wacana intelektual Islam Nusantara yang khas.
Dalam konteks tulisan ini, tradisi dan wacana intelektual Islam yang diwujudkan dalam bentuk karya-karya keislaman, sesungguhnya baru secara tegas menemukan bentuknya mulai pertengahan abad XVII. Kata âsecara tegasâ yang dimaksud berarti bahwa pada periode sebelumnya, tradisi dan wacana keislaman juga sudah muncul dalam sejumlah karya sastra, seperti dalam Hikayat Raja-raja Pasai atau Sejarah Melayu. Hanya saja, Islam yang muncul pada periode ini masih dalam tingkat pengenalan, belum banyak bersentuhan dengan wacana dan doktrin-doktrin keilmuan yang sudah mapan (established) di pusat keilmuan Islam (Makkah dan Madinah). Hal ini tentu saja seiring dengan baru dimulainya proses Islamisasi dan penyebaran Islam itu sendiri. Pada masa-masa berikutnyalah, pembentukan tradisi dan wacana intelektual Islam semakin melembaga, seiring dengan pembentukan dan konsolidasi struktur kelembagaan sosial dan politik keagamaan.
Berangkat dari kerangka pemikiran di atas, tradisi dan wacana intelektual dalam tulisan ini akan dibahas sejalan dengan perkembangan sejarah Islam di satu sisi, dan dengan penekanan pada wacana yang dominan mempengaruhi tradisi intelektual Islam tersebut, yakni sufisme. Pembahasannya terutama dimulai pada periode di mana Islam mulai tampil secara tegas sebagai sebuah gejala intelektual dengan melahirkan banyak karya keislaman.
Sufisme
Penting ditegaskan bahwa, sejauh menyangkut tradisi dan wacana intelektual Islam Nusantara, isu penting yang berkembang sejak awal proses Islamisasi adalah sufisme. Di setiap wilayah di mana pun Islam berkembang, baik pada level kerajaan maupun masyarakat, sufisme senantiasa mewarnai secara keseluruhan gambaran Islam yang muncul. Hal ini tidak terlalu mengherankan jika mempertimbangkan teori Islamisasi A.H. Johns (1961), seorang ahli Islam di Asia Tenggara, yang menjelaskan bahwa, khususnya sejak abad XIII, para guru sufilah yang paling banyak mempengaruhi jalannya Islamisasi di Nusantara.
Membangun Tradisi Intelektual ala UNIDA Gontor
Oleh: Muhammad Faqih Nidzom Peradaban adalah keseluruhan prestasi dan hasil karya, atau sekumpulan bentuk-bentuk kemajuan suatu bangsa atau masyarakat yang hidup bersama dalam sebuah kota atau negara. Begitu definisi peradaban sebagaimana disebutkan dalam beberapa literatur. (Yusuf al-Qaradhawi, As-Sunnah Masdaran Lil Maârifah wa-l-HadĂĄrah, 1997: 201) Dalam konteks Peradaban Islam, A. Nasih Ulwan menyebut prestasi [âŠ]
Artikel, BERITA UMUM, Hikmah, Wisdom
Membangun Tradisi Intelektual ala UNIDA Gontor
Facebook-f Twitter Whatsapp Youtube Instagram
Oleh: Muhammad Faqih Nidzom
Peradaban adalah keseluruhan prestasi dan hasil karya, atau sekumpulan bentuk-bentuk kemajuan suatu bangsa atau masyarakat yang hidup bersama dalam sebuah kota atau negara. Begitu definisi peradaban sebagaimana disebutkan dalam beberapa literatur. (Yusuf al-Qaradhawi, As-Sunnah Masdaran Lil Maârifah wa-l-HadĂĄrah, 1997: 201)
Dalam konteks Peradaban Islam, A. Nasih Ulwan menyebut prestasi dan hasil karya itu berupa dua aspek. Pertama; kemajuan dari aspek materi, seperti bidang politik, militer, ekonomi, saintifik, kultural, dan sebagainya. Kedua; kemajuan dari aspek maknawi, seperti nilai-nilai spiritualitas, akhlak-moral, produk pemikiran, dimana itu semua terpancar dalam berbagai karya di ilmu-ilmu agama, sastra, filsafat, sains, arsitektur, seni rupa dan banyak lagi. (A. Nasih Ulwan, MaâĂĄlim al-HadĂĄrah fi-l-IslĂĄm wa AtsaruhĂĄ fi an-Nahdhah al-Awrubbiyah, 2003: 4).
Sebagaimana jamak diketahui, kesemua prestasi tadi muncul ke permukaan dan menjulang megah di panggung sejarah manusia, yaitu Sejarah Peradaban Islam. Jika kita lihat, setidaknya peradaban ini bisa terwakili dalam dua kata; peradaban ilmu. Guru Besar Bahasa Semitik di Yale University, Prof. Franz Rosenthal, menggambarkannya sebagai keagungan ilmu (knowledge triumphant).
Menjadi pertanyaan kita, bagaimana Islam sebagai agama mampu menjelma menjadi peradaban ilmu? Bagaimana ilmu-ilmu Islam lahir? Dalam buku Islamic Science toward Definition, Prof. Alparslan Acikgence menyumbangkan pemikiran yang berharga terkait hal ini. Dengan pendekatan historis-filosofis, serta meminjam pisau analisa the Worldview of Islam Prof. Al-Attas, ia menyebut lahirnya ilmu dalam Islam didahului oleh adanya tradisi intelektual yang tidak lepas dari lahirnya worldview Islam sendiri. Adapun kelahiran worldview Islam tidak lepas dari kandungan al-Qurâan dan penjelasannya dari Nabi.
Masih menurut Prof. Alparslan, jika kelahiran ilmu dalam Islam dibagi secara periodik, maka urutannya terdiri dari; 1. Turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam, 2. Adanya pemahaman terhadap struktur ilmu pengetahuan dalam al-Qurâan dan Hadith, 3. lahirnya tradisi keilmuan Islam, dan 4. lahirnya disiplin ilmu-ilmu Islam. (Alparslan Acikgence, 1996: 65-68)
Periode pertama secara sederhana dapat digambarkan sebagai pondasi utama Islam. Al-Qurâan sebagai wahyu dan sumber utama Islam membangun struktur konsep dunia dan akherat sekaligus. Ia mengajarkan manusia cara pandang terhadap Tuhan dan keimanan kepada-Nya, hari kebangkitan, penciptaan, akhirat, surga dan neraka, hari pembalasan, baik dan buruk, konsep âilm, nubuwwah, din, ibadah dan lain-lain, dimana kesemuanya itu merupakan elemen penting dalam pandangan hidup Islam. Ini juga sekaligus menjadi identitas dan pembeda antara Islam dan agama ataupun kepercayan-kepercayaan lain.
Periode kedua timbul dari kesadaran bahwa wahyu yang turun dan dijelaskan Nabi itu telah mengandung struktur fundamental scientific worldview, seperti struktur konsep tentang kehidupan (life-structure), struktur konsep tentang dunia, tentang ilmu pengetahuan, tentang etika dan tentang manusia, yang kesemuanya itu sangat potensial bagi timbulnya kegiatan keilmuan.
Sampai tahap ini, maka dapat diklaim bahwa embrio ilmu (sains) dan pengetahuan ilmiah dalam Islam adalah struktur keilmuan dalam worldview Islam yang terdapat dalam al-Qurâan. Hal ini juga diamini oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi. (Lihat dalam Islamic Science: Paradigma, Fakta dan Agenda, hal. 9-10)
Berikutnya, yang menarik untuk kita cermati adalah tentang periode ketiga; lahirnya tradisi keilmuan dalam Islam. Periode ini merupakan konsekuensi logis dari adanya struktur pengetahuan dalam pandangan hidup Islam. Seperti biasa, karena suatu tradisi selalu melibatkan masyarakat maka tradisi keilmuan Islam, juga melibatkan komunitas ilmuwan. Komunitas inilah yang kemudian melahirkan kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific conceptual scheme) yang merupakan framework yang berperan aktif dalam tradisi keilmuan itu.
Dr. Hamid dengan mengutip Prof. Alparslan menyebut, bukti adanya masyarakat ilmuwan yang menandai permulaan tradisi keilmuan dalam Islam adalah berdirinya kelompok kajian, kelompok belajar atau sekolah Ahlus Suffah di Madinah. Disini kandungan wahyu dan hadith-hadith Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Meski materinya masih sederhana tapi karena obyek kajiannya tetap berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks. Ia menjadi gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam Islam dan merupakan tonggak awal tradisi intelektual dalam Islam.
Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya alumni-alumni yang menjadi pakar di berbagai bidang, utamanya Tafsir dan Hadits. Pada gilirannya, mereka dan murid-muridnya mampu mengembangkan keilmuan dengan kajian dan penelitian lanjutan. (Lihat juga tulisan Dr. Hamid: Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam hal. 15-16).
Guys, ada yang tau jawabannya?