jika Anda ingin menghapus artikel dari situs, hubungi kami dari atas.

    memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk di ambil manfaatnya dengan tidak merusakkan dzatnya agar barang tersebut dapat di kembalikan adalah pengertian

    Muhammad

    Guys, ada yang tau jawabannya?

    dapatkan memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk di ambil manfaatnya dengan tidak merusakkan dzatnya agar barang tersebut dapat di kembalikan adalah pengertian dari situs web ini.

    1. memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak

    1. memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusak... - 21888466

    !function(a,b,c,d,e){a.ddCaptchaOptions=e||null;var m=b.createElement(c),n=b.getElementsByTagName(c)[0];m.async=0,m.src=d,n.parentNode.insertBefore(m,n)}(window,document,"script","https://js.captcha-display.com/xhr_tag.js", {ajaxListenerPath: ["brainly.co.id/api", "brainly.co.id/graphql", "api-textbook-solutions.brainly.com", "question-matching-textbook-solutions.brainly.com"], withCredentials: true, sessionByHeader: true, overrideAbortFetch: true, allowHtmlContentTypeOnCaptcha: true });

    1. memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak - Brainly.co.id

    sumber : brainly.co.id

    Pengertian Ariyah, Dasar Hukum, Rukun dan Syarat, Macam, Kewajiban Mu’ir dan Musta’ir, Hal

    Pengertian Ariyah, Dasar Hukum, Rukun dan Syarat, Macam, Kewajiban Mu’ir dan Musta’ir, Hal-hal yang harus diperhatikan

    24 November 2022 Daftar Isi:

    Pengertian Ariyah

    Ariyah artinya ganti mengganti pemanfaatan sesuatu kepada orang lain. Ada juga yang menyatakan bahwa ariyah berasal dari kata Ura yang berarti kosong. Dinamakan Ariyah karena kosongnya /tidak ada ganti rugi. Sedangkan ariyah menurut istilah adalah akad berupa pemberian manfaat suatu benda halal dari seseorang kepada orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak benda itu (menjaga keutuhan barang) dan dikembalikan setelah diambil manfaatnya.

    Dasar Hukum Ariyah

    Dasar hukum ariyah bersumber pada:

    Al-Qur’an

    Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah [5]: 2).

    Hadis

    Rasulullah Saw. bersabda:

    Artinya: “Pinjaman itu wajib dikembalikan dan orang-orang yang menanggung sesuatu harus membayar dan hutang harus ditunaikan.” (HR. At-Tirmizi).

    Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang jayyid dari Shafwan bin Umayyah, dinyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah meminjam perisai kepada Shafwan bin Umayyah pada waktu perang Hunain. Shafwan bertanya: “Apakah Engkau merampasnya wahai Muhammad? Nabi Saw. menjawab:” Cuma meminjam dan aku yang bertanggung jawab”.

    Hukum Ariyah

    Hukum pinjam meminjam dalam syariat Islam dibagi menjadi empat yaitu:

    Mubah, artinya Ini merupakan hukum asal dari pinjam meminjam.

    Sunnah, artinya pinjam meminjam yang dilakukan memenuhi suatu kebutuhan yang cukup penting, misalnya meminjamkan sepeda untuk mengantarkan anak ke sekolah, meminjamkan buku pelajaran dan sebagainya.

    Wajib, artinya pinjam meminjam yang merupakan kebutuhan yang sangat mendesak dan kalau tidak meminjam akan menemukan suatu Misalnya meminjamkan baju dan sarung untuk shalat wajib, apabila tidak dipinjami maka orang tersebut tidak bisa shalat karena bajunya najis. Hal ini wajib bagi peminjam dan juga orang yang meminjamkan.

    Haram, artinya pinjam meminjam yang dipergunakan untuk kemaksiatan atau untuk berbuat Misalnya seseorang meminjam pisau untuk mencuri, pinjam tempat (rumah) untuk berbuat maksiat dan hal-hal lain yang dilarang oleh agama. Hukum haram ini berlaku bagi peminjam dan orang yang meminjamkan.

    Rukun Ariyah

    Menurut ulama Hanafiyyah, rukun ariyah terdiri dari ijab dan qabul. Ijab qabul tidak diwajibkan untuk diucapkan, namun cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam.

    Namun menurut sebagian besar ulama berendapat bahwa terdapat beberapa rukun ariyah, yakni:

    1. Mu’ir atau orang yang memberikan pinjaman dengan syarat:

    Inisiatif sendiri bukan paksaan

    Dianggap sah amal baiknya, bukan dari golongan anak kecil, orang gila, budak mukatab tanpa ijin tuannya dan bukan dari orang yang mengalokasikannya terbatasi dengan sebab bangkrut atau tidak ada kecakapan dalam mengelola harta.

    Memiliki manfaat barang yang dipinjamkan meskipun tidak mempunyai hak pada barang semisal dengan menyewanya bukan dengan hasil pinjaman dari orang lain karena manfaat barang yang di pinjam bukan menjadi haknya melainkan diperkenankan untuk memanfaatkannya.

    2. Mutsa’ir atau orang yang mendapat pinjaman dengan syarat:

    Telah ditentukan, maka tidak sah akad ‘ariyah pada salah satu dari dua musta’ir yang tidak ditentukan.

    Bebas dalam mengalokasikan harta benda, maka tidak sah dari anak kecil, orang gila atau orang yang mengalokasikannya terbatasi dengan sebab tidak memiliki kecakapan dalam mengelola harta kecuali melalui sebab tidak memiliki kecakapan dalam mengelola harta kecuali melalui wali masing-masing

    3. Mu’ar atau barang yang dipinjamlan dengan syarat:

    Manfaatnya sesuai dengan yang dimaksud dari benda tersebut. Maka tidak sah akad ariyah pada koin emas atau perak dengan maksud untuk dijadikan sebagai hiasan, karena pada dasarnya manfaat dari koin tersebut bukan untuk hiasan.

    Musta’ir dapat mengambil kemanfaatan mu’ar atau sesuatu yang dihasilkan darinya seperti meminjam kambing untuk diambil susu dan anaknya atau meminjam pohon untuk diambil buahnya. Maka tidak sah akad ariyah pada barang yang tidak dapat dimanfaatkan seperti sapi yang lumpuh.

    Mu’ar dimanfaatkan dengan membiarkannya tetap dalam kondisi utuh, Maka tidak sah akad ariyah pada makanan untuk dikonsumsi atau pada sabun untuk mandi karena pemanfaat tersebut dapat menghabiskan barang yang dipinjamkan.

    Macam-macam Ariyah

    Macam-macam Ariyah Ariyah Mutlaqah

    Yaitu pinjam meminjam barang yang dalam akadnya tidak dijelaskan persyaratan apapun atau tidak dijelaskan penggunaannya. Misalnya meminjam sepeda motor di mana dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan sepeda motor tersebut. Meskipun demikian, penggunaan barang pinjaman harus disesuaikan dengan adat kebiasaan dan tidak boleh berlebihan.

    Ariyah Muqayyadah

    Ariyah muqayyadah adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan kemanfaatannya, baik disyaratkan oleh kedua orang yang berakad maupun salah satunya. Oleh karena itu, peminjam harus menjaga barang dengan baik, merawat, dan mengembalikannya sesuai dengan perjanjian.

    sumber : an-nur.ac.id

    Fiqih Pinjam

    Fiqih Pinjam-meminjam

    Muhammad Abdul Wahab, Lc Thu 23 August 2018 21:49 | 201510 views

    Bagikan lewat

    Islam sebagai agama yang syamil wa mutakammil (menyeluruh dan sempurna) mengatur segala aspek kehidupan, termasuk hal-hal yang berhubungan dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia antar sesama. Yang diejawantahkan oleh para ulama dalam pembahasan fiqih mumalah.

    Salah satu bentuk interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari adalah kegiatan pinjam-meminjam. Kegiatan yang sering dilakukan dalam keseharian hampir semua orang. Di saat setiap orang tidak selalu memiliki semua barang untuk memenuhi kebutuhannya, maka salah satu jalan keluarnya adalah dengan meminjamnya dari orang lain.

    Apa saja ketentuan-ketentuan syariah yang berkaitan dengan kegiatan pinjam-meminjam? Apa saja hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi baik oleh peminjam maupun pemilik barang?

    A. Pengertian ‘Ariyah

    ‘Ariyah berasal dari kata i’arah yang berarti meminjamkan.

    Dalam istilah ilmu fiqih, para ulama mendefinisikan ‘ariyah dengan dua definisi yang berbeda. Ulama hanafiyyah[1] dan malikiyyah[2] mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut:

    تمليك منفعة مؤقتة بلا عوض

    “Menyerahkan kepemilikan manfaat (suatu benda) dalam waktu tertentu tanpa imbalan.”

    Sedangkan ulama Syafi’iyyah[3], Hanbilah[4] dan Zahiriyyah[5], mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut:

    إباحة الانتفاع بما يحل الانتفاع به مع يقاء عينه بلا عوض

    “Izin menggunakan barang yang halal dimanfaatkan, di mana barang tersebut tetap dengan wujudnya tanpa disertai imbalan.”

    Masing-masing dari kedua definisi di atas menghasilkan konsekuensi hukum yang berbeda. Hanfiyyah dan Malikiyyah menganggap bahwa ‘ariyah adalah penyerahan kepemilikan hak guna suatu benda dalam jangka waktu tertentu. Itu artinya, peminjam barang selama jangka waktu pinjaman berhak untuk meminjamkan atau menyewakan barang pinjamannya kepada pihak lain tanpa seizin pemilik barang. sebab dia dianggap memiliki hak guna barang tersebut.

    Sedangkan Syafi’iyyah, Hanabilah dan Zahiriyyah memandang bahwa ‘ariyah hanya sebatas memberi izin untuk menggunakan barang, bukan memiliki hak guna barang tersebut. Sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan atau menyewakan kepada pihak lain tanpa seizin dari pemilik barang.

    B. Hukum Taklifi

    ‘Ariyah atau pinjam-meminjam hukumnya bisa berubah tergantung pada kondisi yang menyertainya. Meminjamkan barang hukumnya sunnah jika peminjam (musta’ir) merasakan manfaat dari pinjaman tersebut dan tidak menimbulkan mudarat bagi pemilik barang (mu’ir). Ditambah, peminjam tidak menggunakan pinjamannya untuk tujuan maksiat atau hal-hal yang makruh.

    Meminjamkan barang juga bisa menjadi wajib, jika peminjam dalam keadaan darurat sedangkan pemilik barang tidak mendapatkan kemudaratan jika meminjamkannya. Contohnya, pada saat cuaca dingin ada orang yang telanjang, atau hanya memakai pakaian seadanya sehingga merasakan kedinginan. Maka, jika ada orang yang bisa meminjamkan baju untuknya hukumnya menjadi wajib karena orang tersebut bisa saja meninggal atau terkena penyakit seandainya tidak dipinjami baju.

    Menurut Hanafiyyah dan Syafi’iyyah, pinjam-meminjam hukumnya bisa menjadi makruh, jika berdampak pada hal yang makruh. Seperti meminjamkan hamba sahaya untuk bekerja kepada seorang kafir.[6]

    ‘Ariyah juga bisa menjadi haram jika berdampak pada perbuatan yang dilarang. Seperti meminjamkan senjata untuk membunuh orang, atau meminjamkan kendaraan untuk melakukan maksiat, dan lain-lain.

    C. Syarat Barang Pinjaman

    Suatu barang menjadi sah untuk dipinjamkan sebagai ‘ariyah, jika memenuhi dua syarat berikut:

    Pertama, barang tersebut bisa diambil manfaatnya tanpa harus memusnahkan atau menghabiskannya. Tidak sah disebut sebagai ‘ariyah jika yang dipinjamkan adalah barang yang habis pakai seperti makanan, sabun, lilin dan sebagainya. Meminjamkan barang yang habis pakai disebut dengan qardh.

    Kedua, barang yang dipinjamkan merupakan barang yang halal untuk dimanfaatkan dan tidak digunakan untuk tujuan yang diharamkan.

    D. Hak dan Kewajiban Peminjam

    Ketika seseorang meminjam barang sedangkan pemiliknya tidak memberikan batasan-batasan atau ketentuan tertentu dalam pemakaiannya, maka peminjam boleh memakai barang tersebut untuk keperluan apa pun yang dibenarkan secara ‘urf (kebiasaan). Dengan kata lain, peminjam bebas menggunakannya untuk tujuan apa pun selama penggunaannya masih dalam batas kewajaran. Hal ini senada dengan kaidah fiqih[7]:

    المعروف عرفاً كالمشروط شرطاً

    “Sesuatu yang dianggap sebagai kebiasaan kedudukannya seperti syarat.”

    Contohnya, seseorang meminjam mobil sedan kepada temannya. Selama temannya itu tidak memberikan batasan atau ketentuan pemakaian, si peminjam boleh menggunakannya untuk keperluan apa pun, selama itu dianggap sebagai pemakaian wajar. Contohnya dipakai untuk jalan-jalan, mengantar teman dan lain-lain.

    Tetapi peminjam tidak boleh menggunakan mobil tersebut untuk mengangkut beras misalnya, atau mengangkut hewan qurban. Karena, secara ‘urf  hal tersebut sudah keluar dari batas kewajaran.

    Jika pemilik barang memberikan syarat atau batasan-batasan tertentu dalam pemakaian barangnya, maka peminjam harus patuh terhadap syarat tersebut. Jika tidak, si peminjam dianggap sebagai ghasib. Contohnya, pemilik mobil hanya memperbolehkan mobilnya dipakai di dalam kota, atau hanya siang hari, atau selama dua hari dan lain sebagainya. Maka peminjam tidak boleh menyelisihi apa yang disyaratkan oleh pemilik barang.

    sumber : rumahfiqih.com

    Apakah Anda ingin melihat jawaban atau lebih?
    Muhammad 28 day ago
    4

    Guys, ada yang tau jawabannya?

    Klik untuk menjawab